Aku tersenyum sendiri saat kuingat anakku, Bima, yang masih berumur 19 bulan merengek padaku tadi pagi.
“Papa, naik mbem...naik mbem..otor...ikut papa”
Yang bila diartikan, Bima minta naik motor untuk keliling komplek perumahan. Setiap pagi ia memintaku untuk membawanya berkeliling dengan mengendarai motor.
Jika ia sudah meminta, aku tidak bisa menolak. Walau sebenarnya aku sudah sedikit kesiangan untuk berangkat kerja tetapi demi melihat gayanya yang menggemaskan, jadilah aku dan dia berkeliling tiap pagi.
Aku tertawa kecil, saat lamunanku sampai ketika Bima disapa teman-temannya kala ‘perjalanan’ kami melewati rumah mereka.
Ups... tiba-tiba lamunanku menjadi buyar saat mataku bertatapan dengan tatapan penumpang di depanku. Mungkin mereka sangka aku kurang waras, tersenyum dan tertawa sendiri. Aku menganggukkan kepala dan tersenyum kepada mereka. Malu sebenarnya, tetapi bis yang membawaku dari Cikarang Kabupaten Bekasi , rumahku, sampai ke Cikampek, tempat kerjaku, tidak memberikan ruang untuk bersembunyi. Sengaja aku naik bis umum karena selain irit aku bisa istirahat lebih dari cukup.
Lama-lama pikiranku kembali terbuai oleh lamunan. Mengingat Bima adalah sesuatu yang menyenangkan hatiku. Kala mengingatnya, aku seakan-akan mendapat energi lebih dalam menghadapi permasalahan hidup. Bima anak yang kubanggakan, buah hatiku dengan Rini, istriku yang menemaniku dalam suka dan duka.
Aku menghela nafas panjang. Masih teringat dalam benak masa-masa kecilku dulu. Aku dilahirkan dari keluarga pedagang di sebuah desa yang bernama Prasutan, Kecamatan Ambal, Kabupaten Kebumen, provinsi Jawa Tengah pada tanggal 8 September 1978. Aku bangga pada Ayah Ibuku, meskipun hanya berdagang barang pecah belah kecil-kecilan mereka mampu membiayai anak- anaknya sampai perguruan tinggi. Aku adalah anak kedua dari lima bersaudara. Walaupun hidup sederhana, kami semua hidup rukun dan menerima segala sesuatunya sebagai rejeki Allah SWT dan bersyukur karenanya. Pendidikan itu penting sebagai modal utama demi masa depanmu nanti, itu yang selalu Ayah dan Ibu pesankan kepada kami.
Masa sekolahku dari SD sampai SMA kuhabiskan di desa dan kota kelahiranku. Hingga aku diterima di perguruan tinggi negeri di kota Semarang, berjarak 300km dari desaku.
Babak kehidupan baru kujalani. Tinggal berjauhan dengan orang tua. Untuk memudahkan aku, Ayah membelikan aku motor honda. Motor pertamaku adalah Honda black astrea Tahun 1995. Aku pakai buat sehari-hari untuk kuliah, bersosialisasi dan bahkan kugunakan untuk pulang kampung. Syukurlah, tak pernah mendapat masalah dengan motorku. Aku melakukan service sesuai dengan buku petunjuk.
Setelah aku lulus dari bangku kuliah di Politeknik, aku diterima kerja di kota Tangerang. Motor yang menemaniku selama 3 tahun aku menuntut ilmu, menjadi milik adikku. Praktis aku mengandalkan angkutan umum untuk kehidupanku sehari-hari. Tak berapa lama bekerja dan tepatnya setelah 3 tahun, aku melanjutkan kuliah lagi di Jakarta, sebab selalu ingat pesan Ayah dan Ibu bahwa pendidikan itu penting, dan aku harus bisa menggenggam gelar Sarjana dimana itu adalah sudah menjadi tekadku semenjak di SMA. Bekerja dan kuliah sedikit membuatku kesulitan membagi waktu. Hari senin sampai jum’at untuk bekerja dan hari sabtu minggu untuk kuliah. Apalagi saat itu ada seorang gadis yang mengisi hatiku. Rini namanya. Sungguh masa-masa sulit bagiku dengan tidak adanya kendaraan pribadi yang membantuku hilir mudik.
Menyadari kesulitanku, Rini menginginkan untuk membeli motor. Tujuannya agar aku mudah mengatur waktu, tanpa kesulitan dengan jarak, karena sudah ada motor. Tetapi sesungguhnya dalam hati aku tahu, agar waktu apel tidak terhambat. Waktu kusampaikan hal itu, ia hanya tersipu malu dan tak lama jari tangannya sudah mencubit badanku.
Berdasarkan pengalamanku, aku menyarankan agar ia membeli motor Honda saja. Tahan banting, irit dan bertenaga. Tidak lama motor Supra sudah menemani aku dan Rini berkeliling kota, bahkan saking senangnya aku sampai membolos kuliah. Tetapi dalam hati aku merasa tidak enak hati, motor itu dibeli dari uang hasil tabungannya.
Aku sebagai lelaki, calon kepala rumah tangga malah belum mempunyai apa-apa. Dalam hati aku bertekad, akan membahagiakannya suatu saat nanti. Semangatku terlecut karena motor honda Rini.
Satu setengah tahun kemudian, aku lulus menjadi sarjana. Hal yang membahagiakan keluarga besarku, bagi diriku sendiri dan tentu bagi Rini. Tak lama kemudian aku meminang gadis pujaanku, berharap perjalanan hidupku ini aku lewati bersamanya.
Di awal pernikahan kami sudah terhalang oleh masalah jarak untuk bekerja. Rini bekerja di daerah Cikarang, sedangkan aku di Tangerang . Dengan kondisi keuangan yang ada, kami memutuskan untuk mengontrak rumah di Bekasi (Jawa Barat). Dengan pertimbangan, lebih dekat dengan tempat istriku kerja. Sedangkan aku, untuk bekerja membutuhkan waktu 3 jam perjalanan dengan bis karyawan. Aku menyakinkan Rini bahwa aku sanggup menjalaninya, aku ini laki-laki dan sudah semestinya mengalah demi kebahagiaan bersama tentunya.
Ternyata, aku hanya sanggup menjalani selama 3 tahun. Aku memutuskan untuk pindah kerja. Berbekal pengalaman kerja 3 tahun dan pendidikan Sarjana, syukurlah aku diterima kerja daerah Pulogadung jakarta timur. Kembali hari-hariku kulewati dengan si super, demikian kami menyebut motor honda supra yang sudah menemani selama hampir 2 tahun. Jam 5.30 pagi aku sudah mengantar istri ke halte tempat pemberhentian bis karyawan. Setelahnya aku melaju sendirian ke kantor. Seperti pengendara motor lain, di atas motor aku merasakan kepanasan, kehujanan, bahkan ban motor kempes di jalan terkena paku sudah menjadi rutinitasku.. Dalam hati aku berkata, aku harus kuat. Selama super masih tangguh menemaniku, aku pasti mampu. Semua ini demi kebahagiaan istriku.
Di tengah lamunanku, aku tertawa lagi. Kuingat saat hari libur kerja, aku dan istriku mempergunakan waktu untuk kepasar untuk membeli kebutuhan dapur bersama si super. Dan sebulan sekali kami pergi ke GIANT untuk membeli kebutuhan rumah. Di kanan kiri super, tergantung plastik belanjaan. Setahun dengan keadaan seperti itu.
Teman-temanku dan orang-orang terdekat mulai menanyakan, kapan kami punya momongan? Duh, siapa yang tak ingin punya momongan. Bila ditanya seperti itu, kami hanya menjawab mohon doanya saja. Sedangkan kami sendiri terus berusaha dan berdoa meminta kepada Allah, penguasa hidup agar kami diberi keturunan.
Akhirnya, tidak hanya si super yang di cek rutin. Kami mulai rajin ke rumah sakit untuk cek kesehatan. Dokter menyarankan agar jangan terlalu lelah, baik dari sisi aku maupun istriku. Kami mengikuti saran dokter dan mulai mejalani terapi. Hasilnya, tak berapa lama kemudian, istriku hamil. Puji syukur tak habis-habisnya kami panjatkan.
Si super jadi mempunyai tugas baru. Berkunjung rutin ke rumah sakit memeriksakan kesehatan istri dan bayiku. Sampai bulan pertama dan kedua, semuanya berjalan lancar. Sampai dengan saat dokter mengatakan bahwa sebaiknya istriku tidak terlalu lelah, lebih baik istriku berhenti kerja. Aku menyadari, untuk perjalanan ke kantor, istriku membutuhkan waktu sekitar 1 jam. Dan tentu itu membuatnya menjadi terlalu lelah.
Setelah berdiskusi, kami memutuskan akan membeli rumah dekat dengan tempat kerja istriku. Padahal saat itu kondisi keuangan kami sedang pas-pasan. Kembali super berjasa mengantar kami dalam proses pencarian rumah. Daerah Bekasi, Cibitung dan Cikarang kami telusuri.
Menyadari kami sebagai orang yang pas-pasan memunculkan pikiran negatif. Karena sepertinya kami dipandang sinis oleh pihak marketing dari pengembang. Mereka lebih melayani orang-orang yang memakai mobil. Entah itu hanya perasaan kami atau memang sepertinya kami dilihat kurang prospek.
Setelah 2 bulan berputar-putar dengan si super, akhirnya kami mendapatkan rumah impian di daerah Cikarang. Walaupun ukurannya kecil, tetapi cukup buat kami. Bahkan jarak ke kantor hanya memakan waktu 10 menit. Salah satu tekadku untuk membahagiakan istriku mulai terwujud.
Satu kendala dapat teratasi, tetapi muncul kendala lain. Dengan rumah baru ini, jarak aku untuk pergi ke kantor semakin jauh. Dalam hati aku bertekad dan akan kubuktikan, suatu hari nanti aku harus punya mobil.
Dengan jarak yang semakin jauh, super tak pernah rewel. Pagi buta aku sudah berangkat dan saat kupulang, istriku sudah terlelap. Semakin lama, aku mulai mengalami peningkatan dalam kerja. Aku dipercaya menjabat menjadi manager. Seiring dengan itu, aku diberi fasilitas mobil. Super punya teman. Kami bersyukur tiada henti dan kami percaya bahwa rejeki memang selalu datang dari Allah berkat doa, usaha yang tak kenal lelah.
Sampai akhirnya, lahir anak laki-laki kami yang pertama. Kami memberi nama Fathi Bimale Respati yang berarti Sumber kehidupan pertama yang gagah.
Rumah kami makin marak dengan suara bayi. Tangisan, celotehan Bima, demikian kami memanggilnya, mengisi hari-hari kebahagiaan keluargaku.
Waktu terus berjalan. Di tempat kerjaku, aku mengalami masalah. Ada kesalahpahaman dengan pihak management, bahwa yang tadinya akan di angkat karyawan tetap, tetapi setelah jatuh tenggang waktunya ternyata hanya akan terus sebagai pegawai kontrak. Aku berpikir, hidup ini harus meningkat, kualitas hidup harus lebih baik apapun caranya selama itu baik. Aku memutuskan keluar kerja dan mencari kerjaan baru yang statusnya karyawan tetap karena demi ketenangan dalam menafkahi keluargaku. Otomatis mobil perusahaan ditarik. Kami mencoba mengikhlaskan cobaan hidup yang membuat kami tidak menyerah dengan keadaan.
Kembali super berjasa. Kemana-mana istri dan anakku membonceng di belakang. Dengan sabar kami menjalani hidup, dan masih tak lupa bersyukur, masih banyak orang-orang yang lebih kekurangan dari kami dan itu semua menjadi pengalamanku dalam menjalani hidup ini. Sampai akhirnya tak berapa lama aku diterima kerja di Purwakarta. Terpaksa, super beristirahat di rumah. Karena tidak memungkinkan aku memakai super untuk ke tempat kerjaku. Dengan kerja keras dan menabung, akhirnya kami dapat membeli mobil yang bisa kami pergunakan agar tidak kepanasan dan kehujanan saat di jalan. Walau begitu super tetap tak kulupakan jasanya, yang selalu menemani aktifitas kami selama kurang lebih 4 tahun dan bahkan ia sekarang yang menemaniku untuk ke masjid. Mengantarkanku mencari ilmu kebaikan. Aku merasa berterima kasih sekali kepada super-ku dan tetap akan merawatnya dan menjaganya karena seperti suara Candil serious di televisi bahwa motor bagai manusia, seperti tekadku menjaga orang orang yang aku sayangi. Kami merencanakan mengasih Bima adik, Anak itu titipan dan anugerah dari-Nya, semoga kami bisa merawat, membesarkan dan memberinya bekal demi masa depanya nanti, sungguh tak sedikit andil motor honda di kehidupan kami, terimakasih Honda, Honda memang The Power Of Dream. Dan, masih ada mimpi dan harapan kami, Dengan keadaan sekarang ini aku dan istri berencana menyempurnakan hidup, 15 tahun lagi kami ingin pergi Haji ke Tanah suci Mekah.
Tanpa sadar di dalam bis, aku meneteskan air mata dan terisak tertahan.
Lamunanku menjadi terusik, tatkala kulihat penumpang di depanku mengeluarkan suara batuk sembari mencuri pandang ke arahku. Kurasa ia semakin takut padaku, tadi tertawa sendiri sekarang menangis. Lengkap sudah aku bertingkah seperti orang gila pagi ini.
“Cikampek, Cikampek. Persiapan turun. Kaki dulu kaki dulu.” suara khas kondektur menyelematkanku dari pandangan penumpang itu. Aku bergegas turun. Saat kulangkahkan kakiku , aku menghirup udara dalam-dalam (sungguh segar udara pagi ini) dan menghela nafas panjang aku sudah hampir sampai di tempat kerjaku. Kusimpan tanganku dalam saku dan berguman,”Bima, jalanmu masih panjang nak. Papamu tidak akan membiarkan kamu menderita seperti Papa. Walaupun nanti kamu mengalaminya, Papa akan mempersiapkan bahwa kamu siap untuk itu dan tidak berputus asa dalam menghadapinya.”
Saat kulihat motor honda melintas di depanku, aku teringat pada super-ku, aku berguman kembali,”Terima kasih supra super atas jasamu.” Terimakasih Honda.