November 21, 2008

PERJALANANKU – ATAS NAMA CINTA

…cerita yang tak pernah usai…..

Bagi seorang Via, cinta adalah perjuangan. Cintanya pada Sam, lelaki pujaan hatinya, membuat ia harus berjuang mempertahankan cintanya. Sebagai seorang wanita, ia terkadang harus ‘berjalan jauh’ demi bisa bertemu dengan Sam.
Di setiap perjalanannya, ia banyak mendapatkan pengalaman seru yang mengajarkannya tentang kehidupan.
Bagaimanakah perasaan Via, saat ia sudah mengarungi laut, menyebrangi selat, ternyata di sisi Sam telah ada seorang gadis, yang telah ada sebelum Via ada?
Nikmati …cerita yang tak pernah usai…..Cerita perjuangan seorang gadis atas nama cinta..


SATU


Semarang begitu dingin akhir-akhir ini. Hujan yang tidak menentu, membuatku malas untuk beraktifitas. Lihat saja, sepagi ini hujan sudah mengguyur kota kelahiranku. Aku melihat titik-titik hujan dari balik jendela, kurapatkan selimut yang masih menempel.
Aku tidak bisa tidur tadi malam, gelisah. Andai saja, aku tak menemukan buku diari itu, pasti aku bisa tidur nyenyak. Seperti hari-hariku kemarin. Seperti malam-malamku kemarin.
Huh, sepagi ini aku sudah memikirkan orang yang entah dimana, bagaimana keadaannya yang tak pernah aku mengerti. Orang yang mungkin tak pernah memikirkan aku. Oh, sial.
Andai tak kubaca buku itu. Aku tentu tak mengingatnya pagi ini, tak merindukannya. Ups, rindu? Ya, aku rindu padanya, pada Sam-ku yang telah 1 tahun tidak kujumpai. Entah dimana ia sekarang!
Aku menarik rambutku. Ah, bodoh jika aku masih mengingatnya. Sebaiknya aku buang saja buku itu.
Bergegas aku turun dari tempat tidur, tempat pertapaanku yang nyaman. Seakan tidak ingin membuang waktu, kuambil buku harian itu di atas nakas dan beranjak ke ujung kamar dimana tempat sampah kuletakan.
Kupandangi sejenak buku itu. Tinggal satu langkah lagi, cerita dari masa laluku akan ‘terbuang’. Termangu, seakan-akan berat aku melakukannya. Seperti membuang potongan tubuh (Ups, siapa yang mau).
Aku tidak sengaja menemukan buku diari itu di tumpukan buku lama yang tersimpan di dalam kardus, saat aku mencari buku-buku cerita yang sudah masuk dalam kardus. Karena iseng, aku ingin membacanya lagi. Jadi aku membongkar kardus-kardus yang ada di gudang. Akibatnya…..
Kupandangi lekat foto Sam yang ada di sampulnya yang kusengaja kupasang sebagai cover.
Buku ini kunamai Buku Diari 2, karena sambungan dari diari pertama yang sudah kuberikan kepadanya. Tepatnya aku kirimkan kepadanya, karena saat itu aku berjauhan dengannya. Sam di Surabaya dan aku di Jakarta.
Sengaja, kukirimkan buku itu, agar ia tahu betapa aku rindu padanya. Agar ia tahu, hanyalah pena dan buku itu yang menemani aku, saat ia tak ada disampingku.
Semakin aku pandangi malah membuatku tidak tega untuk membuangnya. Bagaimanapun ini-kan catatan yang tertinggal dalam perjalanan hidupku. Aku jadi sayang membuangnya.
Perlahan kubuka lembaran pertama (lagi, tampaknya aku sedang amnesia, lupa bahwa gara-gara buku itu aku menangis semalaman). Tulisanku masih terlihat rapi, tak tampak lagi air mata yang membasahi buku ini. Kuusap buku-ku dengan sayang.
Aku jadi ingin membacanya lagi. Kuhempaskan badanku kembali diatas ‘pertapaanku yang nyaman’

Halaman pertama….

…18 Agustus 2002…

Sam, aku sudah sampai di Jakarta.

Aku bahagia hari ini.
Terima kasih, kau telah menghantarkan aku ke Semarang.
Aku begitu bahagia, sangat bahagia.
Kau tahu? Senyummu tadi menenangkan aku. Tawamu meredakan hatiku, begitu menyakinkanku bahwa kau akan selalu ada untukku.

Terima kasih, Sam!

Aku tersenyum. Saat itu memang moment yang membahagiakan. Itu kali pertama kunjungannya ke Semarang. Dan itu moment yang melelahkan juga.

DUA

Liburan hari kemerdekaan RI yang ke-57 selama 3 hari, ingin kulewatkan waktuku untuk pergi menemui Sam, di Surabaya. Aku sudah rindu pada Sam jadi aku memutuskan untuk pergi menemuinya.
Ternyata untuk menemui Sam, tak semulus yang kubayangkan. Bahkan, aku bilang, itu hanya keajaiban. Keajaiban cinta.
Hari itu aku sudah meminta ijin kepada bos-ku untuk pulang cepat, karena aku harus memburu kereta tujuan Surabaya, yang berangkat pukul 16.30 wib, Kereta Kertajaya.
Dengan terburu-buru, aku naik bis ke Stasiun Senen Jakarta. Tapi apa yang terjadi? Di jalan, entah yang aku lupa namanya, terjadi kemacetan yang luar biasa [bagiku!], sehingga bisa ditebak, aku ketinggalan kereta. Sampai di stasiun, waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 wib. Kereta tujuan Surabaya telah berangkat.
Tetapi aku masih bisa bernafas lega, karena aku belum membeli karcis. Rekorku untuk ketinggalan kereta sudah banyak, dan itu mengajarkan aku untuk tidak membeli karcis, sebelum sampai di Stasiun.
Aku jadi bingung, apakah ini pertanda aku tak boleh bertemu dengannya? Gamang hatiku saat itu, akan kuteruskan perjalananku ke Surabaya atau pulang saja ke Semarang, menemui orang tuaku.
Akhirnya aku putuskan untuk menunggu temanku, Wiwit yang akan pulang ke Semarang dengan Kereta Api Senja Utama yang berangkat pukul 18.55 wib.
Sembari menunggu, aku melihat orang berlalu lalang. Sengaja aku duduk di dekat pintu masuk, ini menjadi kebiasaanku, entah mengapa. Aku tidak mau menunggu kereta di dalam stasiun. Rasanya lebih enak jika aku melihat orang hilir mudik di pintu masuk.
Tidak lama kemudian Wiwit, sudah tiba di stasiun, lengkap dengan bawaannya.
Sejenak ia heran melihatku masih di stasiun, ketika aku ceritakan padanya bahwa aku ketinggalan kereta, ia menjadi maklum.
“Tidak heran” ujarnya.
Lalu ia mengomel panjang pendek.
“Kebiasaan deh, kamu. Selalu telat. Nggak pernah nggak telat. Kenapa sih. Kan sudah aku bilang, pulangnya lebih cepet, lebih ceepeet! Sudah tahu Jakarta macet!” cerocosnya.
“Aku kan udah pulang cepet, Wit!” Kataku sambil meringis, dan menengok kanan kiri, mencari tahu apakah ada yang memperhatikan kami. Sambil menahan malu aku menarik tangannya, masuk ke dalam kafetaria. Habis Wiwit ngomongnya keras banget.
Wiwit si Miss Bawel, sering kali aku menyebutnya demikian. Cerewetnya bukan main. Mungkin karena kemampuannya dalam olah kata begitu hebat, ibarat menulis dalam kertas, seharusnya ia bisa menghemat kertas. . Tapi dia baik sih, teramat baik malah.
Wiwit menganjurkan aku untuk pulang saja ke Semarang.
Aku malah semakin bingung, hatiku ingin pergi menemui Sam, tapi keadaan mengatakan lain. Kereta terakhir tujuan Surabaya, sudah berangkat.
Tidak menyerah dengan keadaan, aku mencoba mencari informasi, apakah masih ada harapan untuk pergi ke Surabaya. Kepada penjaga karcis di depan pintu masuk, aku mencoba mencari tahu. Dan jawabannya itu, sebenarnya, sungguh melegakan. Masih ada kereta! Tapi, itu bukan di Stasiun Senen, tapi di Stasiun Gambir. Keretanya tentu saja bukan kereta ekonomi, melainkan kereta kelas argo yang harganya, bagiku, selangit.
Aku nyaris putus harapan.
Sesaat terlintas cerita yang pernah aku dengar, bahwa aku bisa saja naik kereta kelas argo itu dengan harga murah, naik di lokomotif! Tidak perlu membayar karcis. Hanya saja, aku harus menjadi penumpang gelap. Sebenarnya itu terlarang, tapi bagaimanapun, aku sudah mempunyai tekad, sebaiknya aku coba saja.
Aku utarakan rencanaku pada Wiwit. Awalnya ia mengatakan bahwa aku sudah gila! Tetapi demi melihat tekad-ku, ia hanya bisa mendoakan aku agar dapat bertemu Sam-ku!
Tanpa membuang waktu, aku naik bajaj menuju ke Stasiun Gambir, sendirian.
Terbayang wajah Sam, dan rasanya membuatku tidak takut apapun, itu rasanya seperti ingin menaklukan dunia. Bayangkan saja, aku, seorang gadis, malam-malam akan melakukan hal yang nekad dan terlarang!
Sesampainya di Gambir, aku belajar mengenali situasi terlebih dahulu. Aku dengar pengamanan di stasiun ini sangat ketat.
Setelah paham, aku membeli karcis peron, sebagai ijin masuk. Dengan menggunakan elevator, aku segera naik ke lantai paling atas. Sepanjang jalan, hatiku sangat berdetak tidak karuan, kukatakan pada diriku sendiri saat itu. “Cukup satu kali ini, aku melakukan hal gila seperti ini!”
Sesampainya diatas, aku lihat ada rangkaian kereta. Detak di dadaku semakin kencang. Wuih, kau tahu rasanya? Mengalahkan rasanya menghadapi ujian akhir.
Dari jalurnya aku tahu rangkaian itu untuk tujuan Surabaya. Sedikit berlari aku mendekati lokomotif, dan leganya ketika kulihat ada masinis didalamnya.
Dengan perlahan aku mengutarakan maksudku kepada masinis tersebut, ternyata kereta itu akan pulang dulu ke Stasiun Manggarai, kalau tak salah dengar akan menjemput rangkaian gerbong yang akan dipakai di stasiun itu.
Mulanya aku tak paham, setelah ada seorang lelaki, yang ternyata mempunyai niat yang sama denganku, menjelaskan kepadaku baru aku mengerti maksudnya [aku terlihat amatir ya?]. Dari lagak orang itu, Ia terlihat cukup berpengalaman.
Aku diajak masuk ke dalam loko, tentu hal ini sebenarnya tidak boleh! Bukan aku saja yang akan tertangkap jika ketahuan, masinis tentu juga menanggung resiko mendapat sanksi dari perusahaannya.
Aku menurut saja, rasanya aku menyerahkan hidupku pada orang yang tak kukenal, entahlah! Pikiranku tidak dapat berpikir jernih saat itu.
Tak terpikirkan olehku, bagaimana ternyata ia adalah seorang penipu? Pembunuh, pemerkosa? Bagaimana jika nanti terjadi sesuatu denganku? Tak terpikirkan sama sekali olehku saat itu.
Tak lama kemudian, kereta berjalan pelan menuju Stasiun Manggarai. Tak jauh!
Aku dan lelaki itu – yang tak pernah aku tanyakan namanya, diturunkan di stasiun. Oleh masinis, kami disuruh menunggu. Tidak lama.
Loko yang yang sudah tersambung dengan rangkaian, akan kembali ke Stasiun Gambir. Aku cepat-cepat naik, takut ketinggalan. Saat kulihat, ternyata didalam sudah banyak orang, dan semuanya adalah laki-laki!
Mereka menatap heran padaku. Aku tak mengindahkan tatapan mereka. Toh, perempuan dan laki-laki tak ada bedanya disini, kami semua sama-sama mempunyai niat yang sama. Cari murah.
Kukira kereta akan berangkat lagi dengan membawa kami, ternyata oleh masinisnya kami disuruh menunggu di sinyal. Yang cukup jauh dari setasiun.
Waduh, aku sempat panik juga. “Susahnya Sam pergi menemuimu!” kataku dalam hati.
Sudah kepalang tanggung, aku mengikuti bapak-bapak itu. Kami berlarian dalam gelap malam. Menyebrangi rel, menyusuri rel dalam gelap.
Herannya, aku tak takut saat itu. Itulah kekuatan cinta, aku serasa tidak takut menghadapi dunia!
Kami menunggu di sinyal. Aku dan 5 orang laki-laki. Untungnya, setelah sempat berbincang dengan mereka, aku mendapat kesan mereka adalah orang baik-baik. Mereka adalah orang-orang yang terpisah dengan keluarga karena pekerjaan. Mereka terbiasa pulang dengan cara seperti ini. Hemat di ongkos!
Selama masa penantian, kami dikejutkan dengan adanya seorang yang menghampiri kami.
Seorang yang masih muda, menanyakan – ada apa malam-malam di rel kereta api! – dengan cara yang sopan.
Salah seorang dari kami menjelaskan niat kami, tampaknya pemuda itu maklum, dan ia segera pergi.
Setelah menunggu 20 menit, terlihat sinar lampu memancar, menandakan kereta akan lewat.
Di tempat yang dijanjikan, kereta berjalan perlahan-lahan, dengan kecepatan persekian menit, kami semua naik ke dalam loko,dengan keadaan kereta masih berjalan.
Kereta pun terus berjalan dalam kegelapan malam menuju Surabaya. Aku dan semua penumpang gelap, berdesakan di loko. Walaupun perjalanan ini sangat berbahaya, selain membahayakan jiwa, juga sebenarnya melanggar peraturan.
Kami cukup membayar di atas, tanpa membeli karcis. Untuk ke Surabaya, dengan kereta argo aku bisa hemat ongkos separo dari seharusnya.
Bisa dibilang itu korup. Sebenarnya keadaan seperti itu, siapa yang mau disalahkan? Penumpang yang memberi umpan atau petugasnya sendiri yang tidak tegas, mudah terbujuk untuk mendapatkan uang selain dari gajinya?
Apapun itu, sepanjang jalan aku berdoa, agar tak ada jalan lagi yang menghalangi aku untuk bertemu dengan Sam.
Pukul 05.30 wib kereta api sudah masuk di Stasiun Pasar Turi – Surabaya. Dengan keadaan lusuh, hitam, berkeringat karena berhimpitan di dalam loko.
Aku menghirup udara pagi dalam-dalam. Aku merasa baru saja menempuh perjalanan yang sangat panjang, penuh rintangan. Dalam hatiku sangat bersyukur atas lindungan Tuhan.
Sampai aku bertemu dengan Sam di rumah kakakku, aku tidak menceritakan perjalanan gila yang mungkin cukup sekali aku lakukan kepadanya, bagiku percuma. Yang penting aku sudah sampai.
Rasa bahagia bertemu dengan pemuda pujaanku, mengalahkan rasa capai yang mendera tubuhku.
Seharian waktuku kuhabiskan dengan Sam. Berputar-putar mengelilingi kota Surabaya, kota kenangan. Bisa dibayangkan betapa bahagianya aku, setelah melewati jalan panjang yang melelahkan, aku merasa bagai seorang survivor. Demi mendapat rasa itu aku harus berjuang dahulu.
Malamnya, saat diadakan perayaan hari ulang tahun kemerdekaan RI di depan rumah kakakku, aku diantar Sam pulang ke Semarang.
Kami berdua berangkat dari Terminal Bungurasih pukul 9 malam, dan sampai di Terminal Terboyo – Semarang pukul 4 pagi.
Ia mengantarku pulang ke rumah – setelah kupaksa – dan siangnya ia balik lagi ke Surabaya, sedangkan aku malam harinya aku kembali ke Jakarta. Jika dalam perjalanan biasa tentu itu aku akan merasakan lelah yang luar biasa, namun hatiku sedang berbunga saat itu, jadi tak kurasakan letih di badan.
Perjalanan yang melelahkan dan membawa kenangan.

Aku bahagia saat itu. Lembaran pertama buku diariku mengingatkan aku akan kisah bahagia.

TIGA

Lembar demi lembar aku buka, aku baca. Tertulis disetiap lembarnya untaian kalimat puitis, ungkapan rasa rinduku yang mendalam untuk pujaan hatiku.
Hingga tiba saat kubaca yang membuat mataku berkaca-kaca.

…..28 September 2002 - Pagi-….
Sam,
Tadi aku telp kamu, tapinya kamu nggak ada. Kemana?
Aku pengen dengar suara kamu, pengen dengar tawa kamu.
Terakhir kamu telp aku, aku tidak mendengar tawamu. Ada apa?
Kubalik lembar berikutnya,

…. malamnya….

Ya, Allah.

Sam ternyata telah pergi. Pergi meninggalkan aku….

Sam,
Tadi aku telp lagi ke tempat kakak iparmu, kali ini aku diberitahu, bahwa sedari kemarin kamu telah pergi tanpa pamit dari sana.

Kemana kamu, Sam?
Kau tidak cerita apapun!
Teganya kau!

Jiwaku begitu terpukul, saat diberitahu bahwa Sam telah pergi dari Surabaya. Kepergiannya di saat bulan Ramadhan membuatku seperti kehilangan akal.
Semula aku berencana untuk membeli nasi, karena sore tadi perutku hanya diisi dengan air putih, dan aku jadi melupakan niatku untuk makan.
Aku langsung pulang ke kos. Segera mengambil air wudhu, aku menangis dalam sholatku.
Sedihnya terasa menusuk hati.
Sampai-sampai aku lupa membeli lampu kamarku yang mati. Aku sendirian dalam gelap. Tiada teman untuk bercerita. Semalaman aku tak bisa tidur. Perih di hatiku masih kurasakan sampai keesokan harinya.
Wajahku bersimbah air mata, saat berjalan kaki ke kantor. Jarak antara tempat kos dan kantorku ditempuh dengan berjalan kaki hanya lima menit. Aku tak bisa menyembunyikan duka dihatiku.
Aku menangis dipelukan Mbak Ami, office girl di kantor yang hanya bisa melihatku bingung. Aku memang dekat dengannya. Selain lucu, ia juga baik sekali padaku.
“Lho, Mbak Via datang-datang nangis!” ujarnya waktu itu. “Ada apa?”
Aku terus menangis. Semakin kencang malah. Mataku semakin basah oleh air mata. Oleh Mbak Ami, aku dibawa ke ruangan kantor, jika ketahuan boss bisa bahaya, dikiranya aku diapa-apakan olehnya.
Celakanya, pagi-pagi Ibu bossku sudah minta laporan yang harusnya aku serahkan kemarin.
Dengan mata sembab, aku serahkan laporan yang diminta. Tampaknya ia tahu aku habis menangis. Dengan mata penuh selidik, ia memandangiku. “Kenapa Via?”
Aku hanya tersenyum.
Katanya lagi,” Lho, jago karate kok, nangis!”
Aku lagi-lagi hanya tersenyum. Habis aku mau bilang apa? Malu kalo sampai ia tahu masalahnya.
Akhirnya diam-diam aku pergi kembali ke ruanganku. Dan seharian itu aku tak bisa berkonsentrasi, rasanya ingin menangis terus. Dapatkah kau bayangkan bagaimana rasanya?
Sejak itu, aku sering melamun. Apalagi Sam tak pernah mencoba menghubungiku lagi. Tak pernah mencoba memberitahu aku bagaimana keadaannya, apalagi memberitahu alasan kenapa ia pergi dari Surabaya.
Keluarganya, di Lombok, seakan menutupi keberadaannya saat aku mencoba mencari tahu dimana ia berada. Entah apa yang terjadi! Hingga kini, aku tak tahu kenapa ia pergi tanpa kabar berita.
Akhirnya aku keluar kerja dari Jakarta, karena tak tahan terus menerus sendirian disana merasakan duka. Aku pulang ke rumah orang tuaku di Semarang.
Disinilah aku sekarang, menatap hujan, mengusap air mata yang terus mengalir.

Ah, sebaiknya tak usah kuingat. Kututup buku harianku.
Lihatlah, aku jadi semakin menangis. Ternyata aku masih menyimpan lukanya di hatiku. Kenangan buruk itu begitu membekas dihatiku, hingga hari ini, 1 tahun lebih sejak aku berpisah dengannya.
Rasanya, deras air mataku mengalahkan deras air hujan yang membasahi bumi.
Sam, aku rindu padamu!!!
Cukup lama aku termenung. Potongan kisah lalu satu demi satu terkuak kembali. Tiba-tiba ditengah deru rindu bergolak dihati, terlintas keinginan gila.







EMPAT

AWAL BULAN MARET 2003
Seandainya aku tak malu untuk berteriak, pasti saat ini aku berteriak sekencang-kencangnya untuk menumpahkan rasa di dada. Haru, memenuhi relung hatiku.
Melewati Selat Bali kembali adalah mimpi bagiku. Bali dari kejauhan, bersinar, memancarkan aura mistiknya. Saat kulayangkan pandanganku di atas kapal, kulihat cahaya bulan dan bintang tak kalah bersinarnya.
Aku merasa diberkahi dalam perjalananku ini. Aku ingat saat terakhir meninggalkan Bali, sepulangnya dari Kuliah Kerja Lapangan. Di atas kapal dari Gilimanuk menuju Ketapang, aku punya keyakinan akan kembali lagi ke pulau ini. Keyakinan yang begitu kuat, entah itu dari mana datangnya.
Dan nyatanya, 4 tahun kemudian, aku disini, diatas kapal menuju Bali. Sayangnya Bali, hanya kulewati. Karena tujuanku sebenarnya adalah Pulau Lombok, pulau dimana Sam menautkan batinnya.
Tak kusangka, akhirnya aku akan melakukan perjalanan jauh demi seorang Sam, lelaki yang telah mengisi hatiku dan membuatku yakin, ia tercipta untukku.
Perjalanan Semarang – Lombok, adalah perjuangan. Untuk melakukan ini aku harus berjuang melawan keluarga besarku.
Saat kuutarakan niatku untuk mengunjungi Sam di Lombok, awalnya mereka tidak setuju jika aku harus berjalan jauh demi seorang laki-laki.
Mereka pikir, dimana harga diri seorang wanita ditempatkan jika urusan cinta harus membuatku kehilangan kesadaran. Aku dianggap tidak sadar saat itu.
Tetapi, cinta mengalahkan segalanya. Kupikir cinta adalah urusan hati. Baik buruknya aku yang menjalani. Segala resiko, aku pasti bisa menghadapinya. Bahkan untuk merasakan sakit hati sekalipun.
Kegigihanku menyakinkan keluargaku ternyata membuahkan hasil. Aku diijinkan untuk pergi. Bagaikan anak kecil yang mendapatkan mainan kesayangan, aku merasa bahagia sekali. Pertemuan itu akhirnya akan terjadi juga.
Lelah sebenarnya, untung aku mendapatkan teman perjalanan yang menyenangkan. Arya namanya. Pemuda berambut gondrong, yang dari luar tampak sangar tapi lembut hatinya. Sepanjang perjalanan kami bisa tertawa layaknya kawan lama.
Dari Arya, aku tahu sedikit tentang Lombok. Tentu itu menambah pengetahuanku tentang Lombok, yang selama ini aku baca di buku-buku.
Ini pertama kalinya aku ke Lombok, tempat yang sama sekali tidak aku ketahui dan tak terbayangkan bahwa aku akan datang padanya.
Bahkan aku tak memberitahu Sam, kalau aku ingin hadir di hari ulang tahunnya. Tak kubayangkan jika aku tak bertemu Sam nanti, apa jadinya aku.
Senyum Arya yang tulus, menenangkan hatiku dan menyakinkan aku bahwa janjinya untuk menemaniku sampai aku berjumpa dengan Sam benar-benar ditepatinya.
Pukul 03.30 wita, aku tiba di Pelabuhan Padang Bai. Setengah jam lagi, kapal akan berangkat menuju Pelabuhan lembar, sebagai pintu masuk menuju Lombok dari Pulau Bali.
Selat Lombok yang terkenal akan ombaknya yang besar, ada di depan mata. “Sam, aku akan tiba,” bisikku lirih.
Saat kulihat Arya, ia sedang termangu dengan lamunannya. Secangkir kopi panas di tangannya, tampak mengepul, mengeluarkan hawa panas. Seakan mengusir dingin yang menusuk tulang. Kusandarkan punggungku di kursi, penat sekali. Kulihat orang-orang disekelilingku. Wajah-wajah letih dan menyimpan cerita.
Pukul 4 pagi, kapal mulai melaju. Mengarungi lautan maha luas.
Perasaan takut, haru dan senang bercampur menjadi satu. Pertemuan yang kuidam-idamkan akan terjadi juga. Diperkirakan pukul 09.00 wita, kapal akan berlabuh di Pelabuhan Lembar.
Selama perjalanan ini, aku tak bisa memejamkan mata. Pertanyaan di benakku, apa yang terjadi setelah sampai di Lombok, seakan menghalangi mataku untuk beristirahat.
Menunggu kantuk yang tak kunjung menghampiri, kuberjalan keluar dari ruang penumpang. Angin pagi menggelitik. Kurapatkan jaket hitam pemberian Sam yang sengaja aku pakai di perjalanan ini.

Sejenak aku merasa sendiri. Seperti kesepian. Apa yang aku rasakan? Kebahagiaan? Gelisah? Apapun itu, entah kenapa aku suka sendiri. Menyendiri. Perpisahan yang mengajarkan aku untuk menyukai kesendirian.
Kulihat wanita duduk di sebelahku. Cantik. Ia tersenyum, saat seorang lelaki paruh baya menyapanya. Senyuman manis, menghias bibirnya, aku merasa senyum itu palsu! Aku mengendus. Huh!
Aku memperhatikan lagi wanita itu. Saat aku melihat senyum palsunya, aku jadi tertarik untuk mengikuti terus geraknya. Entah ada apa dengan pesona palsunya itu. Tetapi, kelamaan aku menjadi bosan. Kualihkan perhatianku kepada ombak di lautan. Deburannya sampai terasa di hatiku.
Berdegup jantungku saat membayangkan pertemuan dengan orang yang kurindukan dan kubayangkan dalam setiap langkahku.
Lama kuamati lautan, kutengokkan kepalaku. Tiba-tiba mataku bersirobok dengan wanita itu. Ia tersenyum. Palsu? Tidak, senyum ini terasa berbeda dengan senyum yang diberikan ke lelaki paruh baya itu. Kubalas senyumannya.
Kulihat, anak kecil disamping wanita itu memandanginya. Anak kecil itu tersenyum. Manis. Lugu penuh kepolosan seorang bocah. Kulirik wanita di sebelahku, aku jadi terpana. Senyum yang diberikan kepada anak kecil itu sungguh membuat aku terpesona. Bahkan saat ia memberikan sesuatu kepada anak kecil itu. Emh, sesuatu itu seperti permen. Iya, permen. Senyum tulusnya benar-benar terpancar dari hati. Aku ikut tersenyum. Palsu? Tidak!
Wanita itu menoleh kepadaku. Ia hanya diam. Dengan tatapan kosongnya, entah kemana senyum tulusnya itu. Akhirnya, kujulurkan tanganku. “Via!” kusebutkan namaku.
Ia sempat terhenyak, kemudian disambutnya tanganku. “Marni!” Wanita itu bernama Marni.
“Pulang?” tanyaku sambil menunjuk pulau Lombok yang nampak dari kejauhan.
Marni hanya diam. Lama ia tak menjawab.
Saat aku hendak bertanya kembali, ia menggelengkan kepalanya. “Tidak,” jawabnya.
Aku lihat ada genangan air matanya. Buru-buru aku mengambil tisu yang selalu ada di tasku. Kuberikan kepadanya.
“Terima kasih.” Diambilnya. Dan air mata yang akan mengalir itu diusapnya pelan. “Maafkan saya!”
Aku hanya tersenyum. Tulus.
Kami menjadi terdiam. Aku pun tak sanggup menanyakan kenapa ia menangis. Kumemilih berjalan ke sisi lain dari kapal ini. Kupandangi kembali lautan maha luas. Kapal cepat sudah 2 jam melaju, mengarungi Selat Lombok.
Cahaya mentari pagi, membayang di ufuk timur. Ah, aku mendesah. Segala puji bagi Allah yang menciptakan itu. Kupejamkan mataku. Menikmati udara pagi, yang meggelitik rambutku. Menyapaku.
Tiba-tiba lelaki yang berdiri disampingku, berteriak lirih. “Hei, apa itu?” sambil jarinya menunjuk ke depan.
Kuikuti arah matanya. Wow, ternyata sekelompok ikan lumba-lumba. Pertama yang kulihat ikan yang kecil. Melompat-lompat, mengiringi kapal. Tak lama, muncul yang besar di depan kapal. Sungguh terpesona aku melihat segerombolan ikan lumba-lumba. Konon, ikan itu muncul untuk menolong kapal menemukan arah tujuannya.
Munculnya matahari, ditambah dengan munculnya ikan yang selama ini hanya kusaksikan di layar televisi, terpampang jelas di mataku, membuat aku takjub dan bersyukur. Aku diberi kesempatan untuk menyaksikan maha karya dari Sang Pencipta dan membuat aku merasa, Tuhan merestui perjalananku.
Kurasakan tepukan lembut di pundakku. Kutengokkan kepalaku. Marni sudah berdiri di sampingku.
“Pemandangan yang indah, ya!” ucapannya terdengar hangat di telingaku. “Pancaran cahaya pagi. Memandangnya dari tengah lautan.”
Aku terdiam. Termangu. Lalu tersadar. “Segala puji bagi Allah, Mbak!” sahutku.
“Duduk, Mbak!” kutawarkan kursi kosong disebelahku.
Ia tersenyum. Dirapatkan jaketnya. Udara dingin serasa menusuk tulang. Ia duduk di sampingku.
Lagi-lagi kami hanya terdiam. Dengan pikiran masing-masing. Waktu sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Orang-orang masih terlelap, dalam tidur yang melenakan.
“Sebenarnya, aku tidak mau pulang!” ujarnya tiba-tiba.
Aku hanya diam. Aku biarkan ia bercerita. Aku tahu,ia hanya ingin bercerita. Ingin ada seseorang yang mendengarkan ceritanya. Aku tahu itu.
Air matanya kembali memenuhi pelupuk matanya. Ia menangis. Tersedu-sedu.
Kembali kuberikan tisu kepadanya. Sempat terlintas pikiran nakal di benakku. “Jangan-jangan ia ingin berbagi cerita denganku, karena aku punya tisu!”
Seperti tadi, ia mengusap air matanya perlahan.
“Tapi aku rindu. Rindu anak-anakku.” Tangisannya makin keras.
Aku menoleh, memperhatikan sekelilingku. Ups, untung sepi. Aku khawatir, sangkaan orang aku berbuat jahat kepada wanita itu, si Marni.
“Tenang, Mbak!” kucoba menenangkannya.
Rambutnya yang tergerai, tertiup angin melambai-lambai. Tidak butuh lama. Ia dapat menguasai dirinya. Menguasai air matanya untuk tidak terus berlinang.
Lalu, Marni bertutur kenapa perasaan rindunya bisa membuat ia menangis.


LIMA


Marni adalah gadis yang berumur 18 tahun ketika menikah dengan orang yang berasal dari suku Sasak. Salah satu suku yang mendiami Pulau Lombok. Cinta yang ia rasakan sebagai cinta murni, membuat ia rela meninggalkan orang tuanya. Merelakan kemewahan yang selama ini menemaninya.
Janji lelaki yang menikahinya, akan selalu menemaninya, membahagiakannya, ia pegang teguh. Membutakan ia dari larangan orang tuannya.
Orang tua Marni, hanya tak ingin ia mendapatkan lelaki dari negeri yang jauh, yang akan membawa Marni pergi jauh dari kampungnya di Surakarta. Mereka hanya ingin Marni menikah dengan pemuda dari sukunya, suku Jawa.
Akhirnya, ia mengikuti lelaki itu, yang menjadi suaminya ke Pulau Lombok. Mertuanya, menerimanya dengan setengah hati. Seperti halnya orang tua Marni, mereka ingin putranya menikahi wanita dari sukunya. Cerita buruk tentang wanita Jawa yang didengarnya, membuat mereka takut, nanti hidup anaknya tidak bahagia. Tetapi cinta mengalahkan orang-orang yang mencoba menghalangi.
Pada awalnya, kehidupan mereka bahagia. Walaupun, kekayaan materi tidak berlimpah, di rumah mereka disinari dengan aura cinta. Apalagi, setahun kemudian lahir buah kasih mereka, putri yang diberi nama Kasih. Disusul 2 tahun berikutnya, ia melahirkan seorang putra. Lengkaplah kebahagiaan mereka.
Berita tentang kelahiran putra-putri mereka telah dilayangkan kepada orang tua Marni. Berikut fotonya. Tetapi tampaknya itu tidak mengubah pertahanan orang tua Marni, untuk teguh pada pendirian mereka.
Hingga pada suatu hari. Satu pucuk surat tiba di rumah Marni. Ia menerimanya dengan suka cita. Ia tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepada pak pos, si pembawa surat, yang hanya bisa tersenyum melihat lagak Marni.
Marni tak bisa berhenti tersenyum tatkala dilihatnya, Pram – adiknya yang menuliskan surat itu.
Dengan perlahan dibuka amplop surat itu. Dibaca tulisan demi tulisan itu perlahan-lahan. Matanya yang berbinar-binar, menjadi redup.
Dalam surat itu, Pram mengabarkan bahwa Ibunya sakit keras. Ia diminta untuk pulang, menjenguk Ibunya.
Air mata berlinangan dari pelupuk matanya. Seharian in ia menangis di kamar. Anak-anaknya sedang bermain di rumah mertuanya bersama suaminya.
Marni merenung, teringat ia akan kasih sayang Ibunya. Belaian hangat, nasihat-nasihat bijaknya, yang hampir 10 tahun ini tak pernah dirasakan. Membuat ia merindukan Ibunya. Tangisnya makin keras bila mengingat ia sudah menyakiti hati orang tua-nya.
Setelah termenung cukup lama, ia mengambil keputusan bahwa ia harus pulang. Pulang ke rumah orang tuanya. Menemani Ibunya di hari tuanya.
Tak sabar, ia bergegas ke rumah mertuanya, menemui suaminya. Diceritakan isi surat itu, dan maksud hatinya untuk pulang ke rumah orang tuanya. Menjenguk Ibunya yang sakit.
Tetapi apa yang terjadi? Suaminya marah besar. Ia menampar pipi Marni. Dihadapan mertuanya. Marni tak menyangka suaminya akan menamparnya. Bukan sakit dipipinya yang dirasakan. Sakit hatinya, mendapat perlakuan yang pertama kali dilakukan oleh suaminya. Deraian air mata membasahi pipinya.
Suaminya bersikeras bahwa Marni tidak boleh kembali ke Pulau Jawa.
“Sekali kau meninggalkan rumah ini, Kau tak kuijinkan kembali menginjakkan kakimu disini”
Tampaknya, sakit hati suami Marni terhadap orang tua Marni masih membekas di hatinya. Bahkan di kala sakitpun ia tak mengijinkan istrinya untuk menjenguknya.
Dengan memohon-mohon ia meminta agar ia diijinkan pergi. Kasih dan adiknya melihat pertengkaran orang tuanya dengan pandangan tidak mengerti. Hati mereka yang masih polos, ternodai pertengkaran orang tua-nya.
Suami Marni adalah orang yang keras kepala. Sekali ia mengatakan tidak, ia tidak akan mengubahnya, sekalipun Marni, istri tercintanya berlutut memohon ijin.
Keadaan ini berlangsung hingga dua hari lamanya. Air mata Marni tak hentinya mengalir.
Akhirnya ia bertekad pergi, meski tanpa restu suaminya. Pada mulanya ia ingin mengajak kedua anaknya, untuk diperlihatkan kepada Ibunya.
Tentangan keras selain datang dari suaminya juga datang dari Ibu mertuanya.
Marni bagaikan orang gila. Ia berteriak tak kuat menahan beban itu sendiri. “Kalian kejam,” teriaknya berulang kali.
Suami Marni, sebenarnya sedikit melunak melihat orang yang dicintai menderita batinnya. Sayang, ternyata egonya mengalahkan rasa kasihnya. Tak peduli Marni memohon-mohon, ia tetap kukuh mempertahankan kedua anaknya agar tidak dibawa pergi Marni.
Rindu pada Ibunya mengusik batin Marni. Ia memutuskan pergi, tanpa restu suami, tanpa anak-anaknya. Kesedihan yang mendalam begitu memukul jiwanya. Anak-anak mengiringi kepergian Marni dengan tangisan yang memilukan. Seolah mereka tahu Ibunya takkan pernah kembali.
Ia pulang. Kembali ke pangkuan orang tua. Deritanya bertambah tatkala dilihatnya sang Ibunda, tergolek menahan sakit.
Dirawat Ibunya dengan penuh kasih. Sebagai pengganti 10 tahun yang hilang. Selama di kampung pun, Marni belum bisa bahagia. Bayangan anak-anaknya nun jauh disana membayang di pelupuk mata. Marni terlihat sering melamun, tatapannya kosong. Sekosong jiwanya.
Lambat laun, keadaan Ibunya mulai membaik. Demi melihat anaknya, Marni sering melamun, ia jadi tak tega. Ia mengerti apa yang dipikirkan Marni. Lalu ia menyuruh Marni untuk menengok suami dan anak-anaknya.
Ia merestui pernikahan Marni, di usia tuanya. Walau sudah terlambat.

Disinilah saya sekarang, Dek! Aku tak tahu, apakah suamiku akan menerimaku kembali. Apakah ia masih ingat padaku? Sudah hampir 5 tahun kami berpisah,” ucapnya masgul. “Aku rindu anak-anakku!”
Aku merasakan kerinduan itu. 5 tahun adalah waktu yang tidak sedikit. Anganku melayang jauh. Benakku dipenuhi oleh pikiran, aku sungguh kasihan dengan Marni.
Selama ini aku hanya merasa kasihan dengan orang yang terlihat camping, cacat, anak-anak jalanan, pengemis.
Mendengar kisah hidupnya, mendengar kerinduannya kepada anak-anaknya, membuat perasaan rinduku pada Sam di Lombok terasa kerdil.
Ayo, masuk Mbak!” kutarik tangannya. “Dingin diluar.”
Ia menggeleng. “Biar aku disini saja.”
Aku tak jadi masuk. Aku menemaninya tanpa kata. Kupandang Pulau Lombok dari kejauhan. Sebentar lagi akan sampai. Kulirik Marni. Ia tampak asik dengan lamunannya.
Aku memahami bahwa setiap orang mempunyai masalah sendiri. Karena setiap orang itu berbeda bukan?
Sedangkan aku sendiri, seribu anganku melayang. Di tengah suara deburan ombak terdengar alunan lagu jawa di telingaku. Kucari arah suara, ternyata di ujung tempat aku duduk. Setelah cerita Marni, aku semakin merasa feeling blue, saat kutahu, yang mendendangkan lagu itu ternyata sepasang kakek-nenek. Mereka terlihat mesra. Romantisme yang abadi.
Kulayangkan pandanganku ke lautan, tambah satu pengertianku tentang kehidupan.
Aku melihat ular laut, di permukaan. Yang aku pernah dengar, ular laut adalah ular yang sangat berbahaya. Ah, bagiku ular manapun sangat membahayakan. Masalahnya aku sangat takut dengan ular.
Tiba-tiba, aku merasa bahu kananku ditepuk dari belakang. Saat kulihat ke kanan, tidak ada orang. Kutolehkan kepalaku ke kiri, ternyata Arya yang menepuk bahuku. Ia menggodaku dengan gaya copet saat beraksi. Karena biasanya, aksi copet adalah seperti itu, ia menepuk salah satu bahu korbannya, saat si korban menengok dimana bahunya ditepuk, si copet yang ternyata berada di sisi lain dengan sigap mencoba menarik incarannya, entah itu tas, dompet, atau perhiasan.
Dengan tawa kecilnya, ia menunjuk ke sebuah pulau. “Kita hampir sampai.”
Memang benar, kata orang Pulau Lombok seperti orang memakai sepatu dengan celana kedodoran, kami sudah tiba di simpul sepatunya.
Kupejamkan kedua mataku, kumantapkan hatiku, apa yang kulakukan adalah benar. Untuk pergi menemuinya.
“Ya, Arya. Kita akan sampai.”






ENAM

K

urang lebih satu jam kemudian, bis yang aku tumpangi sudah berjalan menuju Terminal Bertais, yang terletak di kota Mataram, sebagai ibu kota propinsi dari Nusa Tenggara Barat.
Sepanjang jalan, Arya tak henti-hentinya menerangkan setiap daerah yang terlewati. Aku hanya dapat mengiyakan dan sekali-kali tertawa, demi melihat gayanya bercerita, penuh dengan sense of humor.
Kanan kiri kulihat sawah. Perekonomian Nusa Tenggara Barat, Lombok khususnya yang kutahu memang ditunjang dari pertanian, perkebunan dan pariwisata. Terakhir ini yang baru aku tahu, ternyata banyak sekali masyarakat di Lombok yang mengadu nasib di negeri orang. Menjadi TKI di luar negeri.
Perjalanan menuju Terminal Bertais tidak memakan waktu yang lama. Bis itu berhenti di sejenak di dalam terminal dan segera akan melanjutkan perjalanannya ke Pulau Sumbawa.
Kuhirup udara, kutatap langit Lombok lekat-lekat. “Bersahabatlah denganku,” batinku.
Dengan diantar Arya, aku mencari wartel. Orang yang pertama ingin kuhubungi tentu saja Sam. Aku mendapatkan nomornya, setelah aku minta kepada temanku untuk mau menelepon keluarga Sam, dan mengaku sebagai kawan lamanya.
Tak sabar, aku mencoba menghubungi Sam di tempat kerjanya. Begitu tersambung dengannya, langsung kuucapkan selamat.
“Selamat ulang tahun, Sam!”
Sesaat aku tak mampu berkata-kata. Tetapi cerianya suara yang kurindukan, dapat mencairkan perasaan kaku yang melandaku.
Pada mulanya ia tak tahu aku meneleponnya dari Mataram. Setelah aku beritahu bahwa sekarang aku di kotanya, betapa terkejutnya Sam. Lalu ia mengatakan akan menjemputku.
Tak lama ia datang, dengan pakaian dinas pegawai negerinya. Sungguh terharu aku melihatnya.
Ingin rasanya aku memeluknya. Ia berjalan cepat mendekatiku. Rentangan tangannya mengundangku untuk dipeluknya. Aku berlari kecil mengarah kepadanya. Kusambut tangannya dengan jabatan erat. Senyum menghiasi bibirnya. Senyum yang kurindukan kini hadir di depan mataku.
Dipegangnya kepalaku. “Nekat,” katanya dengan penuh heran.
Aku hanya tersenyum simpul. Kuucapkan lagi selamat ulang tahun kepadanya. Dan kukatakan, aku bahagia bisa hadir menemuinya.
Haru, kulihat matanya memandangku. “Terima kasih, Pi!” ucapan itu hanya terdengar lirih. Sedetik kemudian, direngkuhnya bahuku. “Kamu pasti lelah, mau makan atau cari penginapan dulu?” tanyanya.
Suara batuk Arya menyadarkanku. Ups, aku nyaris lupa padanya. Lihat, betapa kejamnya aku.
Lalu kuperkenalkan ia pada Sam. Kuceritakan padanya bahwa Arya adalah teman perjalanan yang hebat.
Senyum lebar menghiasi wajah Arya. Tak lama ia berpamitan, karena keluarga di rumah sudah menunggunya. Tak henti-hentinya kuucapkan terima kasih kepada Arya. Dalam hati aku berharap, kebaikan yang ia lakukan dapat mendapat balasan. Seandainya semua orang mempunyai hati yang baik, betapa damainya dunia.
Sepeninggal Arya, aku putuskan untuk mencari makan dahulu. Dirumah makan, kami belum sempat bercerita banyak. Sesudah itu, aku dan Sam mencari penginapan karena ia harus bekerja kembali.
Di penginapan, sepeninggal Sam, aku masih termangu-mangu. Tak percaya bahwa aku bisa bertemu lagi dengannya. Senyumnya yang memikat hatiku membayang di pelupuk mataku.
Nanti malam, Sam akan menjemputku untuk menikmati indahnya kota Mataram. Dan sisa waktu ini kugunakan untuk beristirahat.

Pukul 7 tepat, Sam datang. Berdegup jantungku saat kulihat ia memakai baju yang kuberikan sewaktu kami masih bersama.
Pria yang kurindukan, dengan senyum di bibirnya, kini ada dihadapanku.
“Aku akan mengajakmu ke tempat yang terindah dari Pulau Lombok.” Pelan dan penuh kasih sayang, direngkuhnya bahuku.
“O, harus itu. Aku akan menyesal seumur hidup kalau tidak.”
“Tenang, aku tidak akan membuatmu menyesal.”
Kami tertawa bersama. Duh senangnya.
Ternyata ia membawaku ke Pantai Senggigi. Perjalanan ke sana dengan sepeda motor, sungguh menyenangkan bagiku. Kupeluk erat tubuhnya. Dinginnya udara malam Lombok bagai tak terasa.
Sampai di kawasan pantai, di sepanjang jalan kulihat restoran dan hotel yang mewah. Tetapi sayangnya, terlihat sepi. Menurut Sam, hal ini karena imbas dari bom yang melanda Bali bulan Oktober lalu.
Pariwisata Lombok ikut terpukul dengan peristiwa itu. Sebelumnya kawasan ini dipenuhi oleh turis manca, kini hanya ada segelintir. Akibatnya banyak pekerja yang dirumahkan.
Aku merasa prihatin. Sungguh tak berperikemanusiaan orang yang melakukan pengeboman itu. Demi sebuah tujuan, ratusan nyawa manusia seakan tidak ada harganya. Dan kini, banyak orang tak bekerja karenanya.
Kulihat pantai ini banyak muda-mudi Lombok yang menghabiskan malamnya disini. Saat melihat penjual jagung, kami berhenti. Beberapa orang terlihat tampak asik menikmati jagung.
Kami mencari tempat dan menemukannya tak jauh dari kawasan pantai. Sehingga kami bisa melihat senggigi dari tempat itu.
Walaupun gelap, aku dapat merasakan keindahannya.
“Indah ya, Pi!?”
“Iya. Indah, Sam. Sangat indah.” Kutatap matanya. “Terima kasih, ya.”
Digengamnya tanganku. Kami saling menatap dan tersenyum. Dilemparkan pandangannya ke depan. Sesaat kulihat ada kesedihan di sana.
Kutanyakan hal ini kepadanya. “Sam, ada apa?”
Ia menatapku heran.
“Hei, memangnya ada apa? Aku baik-baik saja, manis!” jawabnya. Dipencetnya hidungku. Kebiasaan yang tak pernah hilang.
“Tidak, Sam.”
Aku menggelengkan kepalaku. “Aku lihat kamu tidak menikmati malam ini. Ada apa?” tanyaku lagi. “Please tell me!”
Kali ini kulihat ia mendesah. Seakan ingin mengeluarkan beban yang ada di pikirannya.
Cukup lama ia hanya diam saja. Sungguh gemas aku melihatnya seperti itu. Tapi aku tak mencoba memaksanya. Aku tahu sifatnya. Sekali aku memaksanya berbicara, semakin bungkam mulutnya. Jadi kubiarkan saja. Ia hanya sedikit waktu untuk mengatakan apa yang ada dalam hatinya.
Kemudian, aku rasakan gengamannya ditanganku semakin erat.
“Pi,” dipanggilnya namaku. Akhirnya.
“Maafkan aku. Kita tak bisa menikmati keindahan ini dengan utuh.”
“Kenapa? Ada yang salah?”
Aku mulai takut.
Ia hanya diam saja dan memandangiku lekat-lekat.
Aku mulai tak sabar. “Ayo, bicaralah. Kalo itu memang buruk bagiku, aku siap mendengarnya.”
Sam memeluk bahuku. Disandarkan kepalaku di dada-nya. “Aku hanya tak mau melihatmu menangis, Pi.”
Suaranya terdengar begitu pelan.
Kulepaskan pelukannya. Sekali lagi kulihat wajahnya.
“Sam, jika kau tak mengatakannya, mungkin ini akan berat bagiku.” Kucoba menerka. “Apakah ada seseorang yang lain?” tanyaku curiga.
Lagi-lagi ia hanya diam. Huh, aku benar-benar dibuatnya tidak sabar. Kali ini kucubit lengannya. “Ayo, bilang!” kataku galak.
“Aduh, Pi. Kamu ngga berubah deh. Sakit nih,” diusapnya lengan yang kucubit.
“Makanya bilang, Bapak Sam yang terhormat,” candaku.
“Iya, Ibu Via tersayang.” Matanya memandang mesra padaku.
Kamipun tertawa bersama.
Tetapi itu hanya sebentar. Ia kembali dalam diamnya. Terdengar suara nafasnya yang tertahan. Deburan ombak sesekali terdengar. Seakan berlomba dengan deburan jantungku, menunggu ucapannya.
“Unik. Itu namanya.”
Kutundukkan kepalaku. Plas, hatiku serasa terhempas mendengarnya. Benar ternyata perkiraanku. Ada wanita lain di kehidupannya. Air mata serasa mau tumpah dari pelupuk mata. Siap membanjiri pipiku. Kutahan sekuat tenaga. Kugigit bibirku keras.
Ia menjadi terdiam lagi.
Perlahan kuangkat kepalaku. Aku mencoba melihat wajahnya. Butiran air mata mengalir satu persatu. Ia menangis.
“Maafkan aku, Pi,” lanjutnya. “Maafkan aku!”
Hatiku tiba-tiba sakit. Perih. Air mata tak dapat kubendung lagi. Malam yang kuharap akan meninggalkan kenangan indah bagiku, ternyata tinggalah harapan.
“Pi. Aku tak kuasa menolak kehendak Paman,” ujarnya tersendat, seakan sulit ia mengatakan demikian. “Ia gadis pilihan Paman, Pi!”
Terlintas tanya di benak-ku. “Apakah kamu mencintainya, Sam?”
Ditundukkan kepalanya. “Ia ada sebelum kamu ada, Pi.”
Hatiku yang sudah runtuh, tambah lebur mendengar ucapannya. Air mata-ku mengalir deras.
“Ia putri dari sahabat Pamanku,” sambungnya. Dan kubiarkan ia melanjutkan cerita itu. Kemudian cerita itu mengalir keluar dari mulutnya.

Bahwa gadis yang bernama Unik itu diperkenalkan kepadanya sesaat sebelum Sam bekerja di Surabaya, mengikuti kakak iparnya.
Berarti itu sebelum aku mengenalnya. Unik adalah adik kelasnya di Universitas Mataram. Oleh sang Paman, Unik diharapkan dapat menjadi calon istrinya.
Sam tak kuasa menolak. Kebaikan hati Pamannya yang telah membantu orang tuannya dalam menghidupi ke sebelas anak-anaknya tidak bisa lepas dari ingatan.
Janji yang pernah diucapkan dalam hati untuk bisa membalas kebaikan hati sang Paman, membuat ia tidak bisa menolak keinginannya. Bagi Sam kehendak Pamannya adalah perintah.
“Aku hanya mencoba menyukainya. Ia seorang yang lemah lembut dan baik hati. Aku menjadi tak bisa mengatakan tidak kepada Paman, Pi. Apalagi saat kutahu, ia ternyata sudah menyukaiku sejak lama. Hal yang tak kusadari.”
Ia lalu mencoba belajar mencintai Unik. Mungkin bukan sesuatu yang sulit untuk mencintai seorang Unik. Tutur katanya yang sopan, membuat semua orang yang berbicara dengannya menjadi simpati.
“Hingga, tiba saat aku diminta untuk menemani kakak ipar di Surabaya untuk membantu usahanya. Aku harus berpisah dengan Unik. Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, paman mengatakan bahwa pernikahan kami akan dilangsungkan setelah kakakku yang belajar menuntut ilmu di Australia kembali ke Surabaya.
Aku hanya diam mendengarkan. Sayup-sayup masih terdengar suara ombak bergulung-gulung. Pikiranku mulai tenang. Mulai mencerna setiap ucapannya.
“Hingga kita bertemu. Saat kulihat kamu pertama kali, Pi. Aku melihatmu sebagai orang yang tak pernah bersedih. Tawamu, senyum manismu dan candamu membuat aku sejenak melupakan seorang Unik di Lombok, yang setia menungguku.”

Aku menjadi terkenang kembali pertemuan pertamaku dengan Sam.
Pada waktu itu, aku baru mendapat panggilan kerja di Surabaya. Aku tinggal di rumah kakakku yang tak jauh tempat tinggal Sam dengan kakak iparnya.
Saat itu adalah kali pertama aku berjauhan dengan keluargaku. Jadi aku masih merindukan keluargaku di Semarang. Hampir setiap hari aku menelepon mereka.
Kebetulan rumah Sam, berhadapan dengan wartel. Otomatis, membuatku sering bertemu dengannya. Kesan pertama, pemuda yang ramah dan mempunyai senyum yang memikat.
Kami hanya bersapa dan saling tersenyum, awalnya. Lama kelamaan, kami sering ngobrol bahkan pergi berdua, demi mencari hiburan. Kami merasa senasib sebagai orang perantauan.
Hari-hari di Surabaya, tak terasa kulewati bersamanya. Rindu ke orangtuaku sedikit terobati dengan adanya Sam.
Smart, tekun dan gigih dalam menjalani hidupnya, membuat aku semakin suka kepadanya.
Hingga suatu hari aku harus pergi ke Jakarta. Aku dipindah tugaskan di kantor pusat.
Perjumpaan yang belum lama harus diakhiri dengan perpisahan.
Aku tak bisa menolak perintah atasan. Apalagi aku adalah pegawai baru disana.
Di malam perpisahan sebelum aku berangkat, ia mengatakan betapa sayangnya ia padaku. Dan tak ingin berpisah denganku. Sejujurnya, aku juga merasakan hal yang sama. Akhirnya malam itu kami mengikat janji. Janji untuk saling setia.
Sesampainya aku di Jakarta, kami masih saling berkomunikasi. Bahkan aku sempat mengunjungi Sam di Surabaya, dan mengalami perjalanan yang menghebohkan.
Perjalanan untuk menemuinya yang terakhir kali, karena 1 bulan berikutnya ia menghilang tanpa kabar berita.
Karena kekecewaan dan sakit hati, aku sering jatuh sakit. Segala kenangan manis dengannya, membuat aku memanggil namanya di kala sakitku. Itu masa lalu. Karena sekarang, disinilah aku berada. Di pantai Senggigi. Mendengar cerita yang tak pernah kuinginkan keluar dari mulut lelaki yang kucintai. Dari bibir yang mempunyai senyum terindah di dunia, bagiku.

Mengingat masa lalu, membuatku teringat suatu hal.
“Sam, kenapa kau pulang ke Lombok tanpa memberitahuku? Apakah kau tahu, itu hampir membuatku gila. Aku tak bisa berhenti memikirkanmu.”
“Pia, hal itu terjadi diluar kehendakku.” Dirapatkan jaketnya. Udara malam semakin dingin.
“Paman akhirnya tahu hubunganku denganmu. Kakak iparku yang memberitahunya. Di saat itu pula aku harus kembali ke Lombok.”
Tatapan matanya menjadi sedih saat memandangku.
“Aku harus meninggalkan Surabaya. Selamanya. Itu berarti aku harus meninggalkan segala kenangan kita yang pernah tercipta disana. Dan sama saja, meninggalkanmu.”
Air mataku menetes kembali. Duh, Ibu. Ternyata jauh-jauh aku datang ke Lombok, air mataku harus menetes lagi. Seandainya kuturuti nasihatmu.
Tak tahan melihat aku menangis, dipeluknya aku. Dibawanya kepalaku di dadanya. Aku menangis dipelukannya.
“Maafkan aku, Pi! Aku tak tega mengatakan ini kepadamu. Aku tak mau kamu terluka. Aku tak mau kehilangan keceriaanmu. Menghilangkan tawa dari bibirmu.” Pelukannya semakin erat. “Tapi, aku salah. Aku tak tahu, kalau aku benar-benar melukai hatimu.”
Tangisku semakin tak dapat kutahan. Terisak aku di dada-nya. Kutumpahkan segala kepedihan.
“Maafkan aku, Pi. Aku takkan pernah berhenti meminta ampunan padamu.”
Saat kudongakkan kepalaku, kulihat tetesan air menetes dari pelupuk matanya. Ia menangis. “Aku tak bisa menyakiti hati Unik. Dia begitu baik, Pi. Dia bisa menerimaku apa adanya. Bahkan saat kuceritakan perihal kau kepada kau padanya. Dia yang menyuruhku untuk menemanimu malam ini.”
Hancur hatiku. Cinta yang kupunya, serasa tak berharga demi mendengar kebaikan dari perempuan yang telah kulukai hatinya. Aku merasa menjadi wanita penggoda. Aku menodai cinta murni mereka.
Kulepaskan pelukannya. Kuusap air mata yang membasahi pipinya.
“Jangan menangis, Sam! Jangan merasa bersalah. Jangan meminta ampunan padaku. Aku yang salah. Aku yang salah!” Aku mencoba menenangkan hatinya. Entah, seharusnya aku yang merasa begitu terpukul bukan? Seharusnya aku yang menangis tersedu-sedu, bukan dia, bukan Sam.
Ditariknya tanganku. Dibawanya jariku ke bibirnya. Dikecup lembut jariku.
“Bukan. Akulah yang salah. Kau tahu? Rasa sayang, cintaku padamu akan selalu ada dihatiku. Sebenarnya aku tak bisa memilih. Tapi, aku terpaksa memilih. Bayang-bayang kebaikan Paman selalu menghantui benakku.”
Sedih sekali. Tak kusangka cerita cintaku akan begini jadinya. Kutenangkan pikiranku. Kucoba untuk mengerti. Walau tak ingin.
Sebenarnya, saat aku pergi untuk menemuinya di sini, aku sudah siap untuk merasa sakit hati untuk kedua kalinya.
Mungkin aku takkan sesakit ini, kalau ia tak mengatakan bahwa ia masih menyayangiku, mencintaiku disamping cintanya untuk wanita lain.
Kurasakan angin malam, dingin. Kulihat sekelilingku. Tampak masih ada satu atau dua pasang muda-mudi.
“Marahlah padaku, Pi! Aku rela kamu pukul. Cubit aku sepuasnya. Ayo, Pi. Lakukan!”
Aku menatapnya. Aku lihat rasa bersalah di wajahnya. Aku mencoba tersenyum. “Kamu pikir aku wanita barbar, sadis? Sudahlah, Sam. Ayo kita pulang,” ajakku sambil menarik tangannya.
Aku memutuskan untuk pulang saja ke penginapan, aku tak bisa menikmati indahnya Senggigi lagi.
Sam menatapku tak mengerti. “Tunggu, Pi. Aku tak bisa membiarkanmu sedih seperti ini.”
Tidak.
“Tidak, Sam. Biarkan aku memikirkan ini. Sendirian. Beri aku waktu, Sam!”
“Benar, Pi?”
“Iya, Bapak. Ayo, pulang!” kutarik tangannya lagi. Mengajaknya berdiri.
“Are you sure?” tanyanya tidak yakin.
“Ya, sudah. Aku pulang sendiri.” Aku beranjak pergi.
Sam mengejarku. “Tunggu. Aku antar kamu pulang.”
Tak lama kemudian motornya telah membawa kami melaju di keheningan malam.
Sam, membawa tanganku untuk memeluk tubuhnya. Aku membiarkan saja. Aku pikir ini akan menjadi pelukan terakhir. Sesekali air mata masih menetes di pipiku.
Tragisnya kisah cintaku!


TUJUH


Pukul sepuluh malam, kami tiba di penginapan. Entah kenapa, di saat membuka pintu, aku menjadi gugup. Kunci itu lepas dan jatuh.
Sam mengambil kunci itu. “Boleh kubantu, Ibu Pia?”
Tanpa menunggu jawaban. Dibukanya pintu itu. Berhasil. Kami pun masuk dan ia yang menutup pintu itu pula. Kuletakkan tasku di tempat tidur.
Tiba-tiba dari belakang, Sam memelukku. Dibalikkan badanku. Dan tanpa permisi, dikecupnya bibirku.
Aku yang terkejut, spontan mendorong badannya. “Sam?” tanyaku menyelidik.
Ia mencoba memelukku lagi. “Ijinkan aku, Pi.” Ia mencium bibirku lagi. Kali ini dengan lembut ia melakukannya. Aku menjadi terhanyut, perlahan kubalas ciumannya. Kami saling berciuman. Cukup lama. Menumpahkan rasa yang terpendam di hati.
Kemudian, perlahan kulepaskan pelukannya.
“Sudah, Sam. Sudah malam. Besok kan kamu harus bekerja.”
Dengan enggan dilepaskan pelukannya padaku.
“Pi, aku ingin menemanimu disini.”
Aku terkesiap. Sejenak. Kugelengkan kepalaku. “Tidak. Kamu harus pulang. Apa kau ingin Paman marah padamu?”
“Viana Narita, aku mencintaimu. Begitu mencintaimu.”
Kulihat, matanya tulus mengatakan itu, dengan penuh rasa cinta. Tergetar aku melihatnya.
“Jangan menambah buruk keadaan, Sam. Sebenarnya apa sih yang kamu inginkan? Aku harus bagaimana?” tanyaku. “Biarlah aku berpikir dulu. Sekarang kamu sebaiknya pulang. Besok aku telepon kamu di tempat kerja, ya!?” Kubuka pintu kamar. “Aku sudah lelah.”
Sam memelukku sekali lagi.
“Sebenarnya aku juga ndak tahu Pi, apa yang harus aku lakukan. Tetapi tak ada yang memberi kesempatan padaku untuk berpikir.”
Sam beranjak menuju pintu. “Baiklah tuan putri. Selamat beristirahat.” Keningku dikecupnya pelan. “Aku pulang ya!”
Kuantarkan kepergiannya sampai depan pintu kamar. Kulambaikan tanganku.
“Hati-hati, Sam!”
Kupandangi punggungnya. “Sam, aku juga sangat mencintaimu,” kataku lirih.
Kututup pintu. Taruhan, aku tidak bisa tidur malam ini.
Kurebahkan kepalaku. Kata-katanya terngiang di telingaku. Semakin kupikirkan semakin membuatku pusing. Kucoba pejamkan mata. Walaupun susah akhirnya aku tertidur juga.


DELAPAN


Pukul 5 pagi, aku sudah bangun. Keluar kamar. Kuhirup udara pagi. “Segar sekali,” kurenggangkan badanku. Pegal.
“Kuputuskan untuk jalan-jalan sejenak. Aku ingin memutuskan apa yang harus kulakukan pagi ini. Mungkin hawa segar Lombok bisa membantuku berpikir jernih.
Melihat kota ini sungguh menarik bagiku. “Sepertinya tenang. Tidak seperti ibu kota, sumpek dan panas.”
Sampai di tengah jalan, kulihat halte. Aku berjalan ke sana dan berpapasan dengan beberapa orang. Mereka tersenyum padaku. Ramah khas Lombok.
Sebentar saja, jalanan sudah agak ramai. Yang membuatku tertarik, saat aku melihat seorang gadis yang lewat di depanku. Setelah aku perhatikan ada bunga di rambutnya. Aku tak tahu bunga apa. Saat itu aku ingin memperingatinya. Membayangkan aku, dengan benda asing di rambutku saja sudah membuatku malu.
Baru saja aku akan memberitahu gadis itu, lewat lagi 2 orang gadis. Dengan bunga diatas kepala. Aku jadi urung memperingatkan gadis itu. Jangan-jangan itu budayanya Lombok? Setelah kutanyakan pada orang yang kebetulan ada di sebelahku, ternyata itu adalah kebiasaan gadis Bali yang baru saja melakukan doa. Kalau mengingatnya aku jadi ingin tertawa.
Duduk sendirian. Berpikir. Sampai lalu lintas menjadi sedikit ramai. Apa yang harus lakukan? Kututup wajahku dan kupejamkan mataku. Terbayang Sam di pelupuk mataku. Terbayang pula sosok gadis, Unik.
Samar-samar kubayangkan seperti apa dia. Sosok seperti yang diceritakan Sam.
Terjadi perang batin. Si hitam dan si putih.
“Akankah aku pertahankan cintaku kepada Sam. Dan memaksanya untuk terus mencintaiku, tanpa memikirkan lagi bahwa ada Unik yang juga mencintainya.”
Akankah aku tega? Akankah aku mau berbahagia di atas penderitaan orang lain?
“Aku tak mau menyakiti hati orang lain. Jika aku relakan kebahagiaanku, membiarkan mereka bersatu tanpa ada aku, aku sendiri pasti sakit. Menderita.”
Kupikirkan hal itu cukup lama. Sampai lalu lalang menjadi ramai.
Akhirnya, aku menemukan jawabannya.
Aku harus pulang!!
Aku harus relakan kebahagiaanku sendiri. Bukankah sebenarnya, sebelum ada aku, mereka telah bersama.
Aku tak ingin karma buruk menimpaku. Aku percaya setiap perbuatan ada karmanya.
Biarlah. Aku pergi. Aku pulang. Toh, aku tahu setidaknya Unik adalah gadis yang baik. Aku yakin ia bisa membahagiakan Sam. Aku yakin sekali, walaupun aku tak pernah bertemu dengannya.

Kembali ke penginapan, dan berkemas-kemas. Dengan bantuan pekerja di penginapan itu, aku mendapatkan tiket pulang ke Semarang.
Pukul 2 siang nanti, bis TITIAN MAS akan membawaku pulang.
Aku tak ingin memberitahu Sam sekarang, aku ingin memberitahunya nanti setelah aku sampai di terminal. Menjelang kepergianku. Aku hanya tak ingin berubah pikiran. Aku tak ingin menunda kepergianku, walau 1 haripun.
Siang harinya, sesampai di terminal, aku mencoba mencari wartel. Wartel inilah saksi bisu, saat pertama kali datang ke Lombok, tempat inilah yang pertama kali aku tuju dan saat aku akan meninggalkan Lombok, tempat ini juga yang terakhir aku tinggalkan.
Lima menit lagi bis akan berangkat.
Bergegas, aku memencet nomor kantor Sam. Saat tersambung, kudengar suaranya. Suara yang nanti akan kurindukan.
Sejenak, aku hanya diam saja. Susah bibirku untuk digerakkan. Sulit rasanya mengucapkan kata perpisahan.
“Sam...ehm” aku ragu-ragu berucap.
“Oh, hei-Pi!” suaranya hangat menyapaku.
Saat kudengar pengumuman bahwa bis akan segera berangkat, kuberanikan diriku untuk memberitahukannya.
“Sam, Pi hanya ingin bilang terima kasih. Terima kasih atas cinta yang kau berikan padaku. Maafkan, jika aku membuat masalah bagimu.”
“Tunggu, Pi! Apa yang kau katakan,” nada suaranya terdengar khawatir.
“Bis-ku akan berangkat. Jaga diri baik-baik ya, Sam.”
Sesaat aku tak mampu untuk tak menangis. “Bahagiakan Unik, Sam!!” Kututup telepon itu. Usai sudah.
Air mataku berderai, tak kuhiraukan orang-orang yang memandangku dengan heran. Sambil terus berlari, aku menghapus air mata ini.
Biar aku bawa lari sakit ini, biar aku bawa pergi kenangan kita, Sam.
Tidak lama, bis berangkat menuju Pelabuhan Lembar. Cuaca mendung, sebentar lagi tampaknya akan turun hujan.
Di dalam bis, aku masih terisak-isak. Aku yakin Sam, sedang bingung sekarang.
Kupegang dadaku, sakitnya masih terasa. Sakit di hati ini yang tak mungkin hilang.
Oh, Sam. Aku tak ingin cerita ini akan menjadi cerita yang tak pernah usai. Biar waktu yang akan menjawabnya.
Cerita indah adalah masa lalu. Cerita sedih, biarlah berlalu dan menjadi pelajaran. Besok adalah harapan. Kugapai harapan itu, walau tanpa ada orang yang kucintai disampingku. Tapi hidup haruslah berjalan.

Hujan deras ketika bis yang membawaku pulang sampai di Pelabuhan Lembar. Sehingga kapal belum bisa merapat. Jadi bisku tertahan di Pelabuhan.
Pukul 4 sore, kapal sudah bisa merapat. Hujan sudah reda. Bis sudah masuk kapal.
Sepi saat kulihat suasana di ruang penumpang. Aku memilih untuk keluar. Sebentar lagi kapal akan berangkat.
Kupandangi Pulau Lombok untuk terakhir kalinya. Tampak beberapa orang melambaikan tangan, mengiringi kepergian orang terkasih.
Aku merasa kesepian. Tidak ada orang yang mengantarku kepulanganku. Biarlah aku datang tak diundang, pulang tak diantar.
Samar-samar, kudengar suara orang memanggil namaku. Aku mencari arah sumber suara.
Betapa pedihnya hatiku, saat kulihat Sam berdiri disana. Di pinggir pelabuhan. Melambaikan tangan. Memanggil namaku, tak menghiraukan orang-orang disekelilingnya.
Ajaib. Hujan turun lagi, rintik-rintik.
Aku ingin berlari memeluknya dan menangis di dadanya seperti malam itu. Tetapi, kapal sudah melaju perlahan. Meninggalkan Lombok. Meninggalkan Sam.
Butiran air mataku berderai. Oh, sam bisakah aku hidup tanpamu? Kulambaikan tanganku. Ia masih berteriak, mengucapkan sesuatu. Samar-samar di tengah deru ombak, aku mendengar ucapannya.
Ia mengucapkan cinta.
Jangan. Jangan mengucapkan cinta Sam. Aku tak mau kisah ini berakhir. Biarlah kisah cinta kita akan menjadi cerita yang tak pernah usai.
Kapal terus bergerak menjauhi Lembar, siap mengarungi Selat Lombok.
Hujan rintik-rintik mengantar kepergianku. Langit seakan tahu isi hatiku.
Memandang Lombok dari kejauhan membuatku ingin menyanyikan lagu kesukaanku.

I’m breathing. Far away from you. And every second feels like thousands more without you. I’m breathing. For this love to live. Believe that one-day life will take me there beside you…..


---end---